REPOST :
Teori Dekonstruksi Sastra
Yolenta Elsa Ambon
A. Gambaran Umum
Dekonstruksi berasal dari bahasa latih, yaitu dari kata kata de dan construktio. Kata dememiliki arti ke bawah, pengurungan, atau terlepas dari, sedangkan kata Construktioberarti bentuk, susunan, hal menyusun, dan hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku.
Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Dekonstruksi dikembangkan atas dasar pemahaman sepihak tradisi kritik, yaitu yang semata-mata memberikan perhatian terhadap ucapan.
B. Sejarah Perkembangan dan Tokoh
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual.
Pendapat lain dari para ahli yaitu meneurt Kristeva (1880: 36-37), Kristeva mengatakan bahwa dekontruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekontruksi adalah cara membaca teks sebagai srategi.
Dekonstruksi tidak hanya ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi juga ditunjukkan melalui nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu yang ada dalam teks. Dengan demikian dekontruksi tidak hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentranformasikan hakikat wacana atau teks. Nietzsche (Culler, 1983 :86-87) juga mengatakan bahwa pada dasarnya dekontruksi memepunya kaitanannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
Saussure juga menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-lambang menjadi penanda dan petanda. Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti. Konsep Saussure ini kemudian didekontruksi oleh Derrida. Derida (Eagleton, 1983: 127-128) mengatakan bahwa makna tidak hanya dalam satu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda. Derrida juga mengatakan bahwa doktrin hierarki ucapan-tulisan, pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat.
Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dalam teori dekonstruksi terdapat perbedaan antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan cara menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal. Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan cara pemberian perhatian terhadap gejala-gelaja yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya.
Dalam dekonstruksi, pembacaan tak harus dimulai dari awal, ia bisa dimulai dari mana saja. Bahkan Derrida memulai dari sebuah catatan kaki. Dari pembacaan didapati beberapa unit wacana yang mengalami kebuntuan.
C. Karekteristik Kajian Dekontruksi
Dekontruksi memang berpusat pada teks. Ia tak lepas dari teks, tetapi paham yang dipegang lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekontruksi juga menolak struktur lama yang tak lazim. Bagi dekonstryuksionis menganggap bahwa “bahasa” teks bersifat logis dan konsisten. Sebuah teks dalam pandangan dekontruksi akan selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks tersebut sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya, dekontruksi membiarkan teks itu ambigu dan menentang segala kemungkinan. Junus (1986:36) menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna teks berawal dari struktur kemudian menambah “kekuatan” makna berdasarkan struktur tersebut. “Kekuatan” yang dimauksud adalah upaya secara deksontruktif, dengan cara membreidel teks, mengobrak-abrik teks, dan lari dari struktur yang ada.
Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lainya, diharapkan lebih memadai. Inilah yang dilakukan oleh kaum dekonstrktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra. Dalam kaitan ini Roland Barthes (1983) memberi tahapan penelitian dekonstruksi sebagai berikut:
(1) mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama.
(2) unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan jaringan, baik jaringan antar semua unsur (jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dan Y).
Teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode lain diluar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan paradoksal. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya mudah dikenal. Dalam kaitannya itu, Roland Barthes (Pradopo, 1991:78) memandang bahwa teks sastra memiliki makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure Of The Text ia membedakan Pleasure atau kenikmatan menjadi dua arti: yaitu Pleasure (kenikamatan) dan bliss (kebahagiaan). Yang lebih tajam lagi Foucoult berpendapat bahwa tak ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam teks sastra. Teks sastra bersifat “keduniaan” , karenanya pemaknaannya setring tidak lepas dari otoritas dan kekuasaan. Itulah sebabnya pemaknaan teks sastra harus dipandang dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan terus-menerus. Bahkan pada suatu saat perlu memandang dan mendekontruksikan wacana-wacana yang mungkin kecil dan nonliterer.
Dengan demikian, kehadiran penelitian dekonstruksi merupakan estafet studi sastra sebelumnya. Paham dekontruksi ini tampaknya memang belum mendapat angin segar dalam perkembanganya.
D. Teori Analisis
Sebagai langkah awal Derrida memperkenalkan teori penelitian semiotik model gramatologi. Gramatologi merupakan teori semiotik alternatif.Sasaranya adalah mempertimbangkan kembali tentang nilai-nilai tradisi seperti tanda, kata, dan tulisan. Dalam teori deksontruksi sistim tanda yang telah di bangun Saousurre diramu berasa teori lainya untuk mempertajam teori sebelumnya sampai pada konsekuensi. Dalam konsep Derrida ia menawarkan konsep jejak. Jejak (trace) bersifat misterius dan tak tertangkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisa, menembus dan memberi energi pada aktivitas yang menyeluruh, bersifat omnipresent tetapi tetap luput dari jangkauan. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Dalam teori dekonstruksi, Derrida mengarah ke neologisme dalam pemahaman fenomena. Fenomena sastra dan budaya dipahami melalui konsep difference. Differencemencakup tiga pengertian, yaitu: todiffer (berbeda), differe (tersebat dan terserak) dan to defer (menunda) . Differ adalah konsep ruang, maksudnya tanda muncul dari sistem perbedaan yang mengambil tempat dalam sistem itu. Differ bersifat temporal, maksudnyasignifier memaksakan penundaan kehadiran tanpa kesudahan (Selden, 1985:88). Akan tetapi, perbedaan istilah itu hanya dapat ditemukan dalam tulisan sebab dalam tuturandifference diucapkan sebagai difference. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip diferensiasi lebih kuat beroperasi dalam tulisan.
Pada moment tertentu diffrence muncul pada kita sebagai suatu kekuatan yangcosmic omniprenen (hadir dimana-mana) kekuatan primodial dari proto differensiasi, menembus setiap satuan dan konsep dalam semesta. Sesungguhnay kekuatan ini berfungsi secara negatif, karena ia menyatakan terutama sekali lewat perusakan dan pemecahan terhadap segala sesuatu secara diam-diam. Difference tidak dapat dianggap sebagai suatu peristiwa, ia tidak berusmber dari moment awal yang berupa kesatuan atau harmoni yang tidak terganggu. Pembalikan dan penundaan yang fundamental yang tersirat pada difference akan lenyap tak tertangkap apabila kita menganggapnya sebagai peristiwa (yang ada atau yang pernah ada). Kualitas pembalikan dan permainan yang khas dari difference adalah menjauhnya penampilan sebagai sumber asal, sebagai keberadaan yang hadir, sebagai produksi, sebagai konsep kunci atau kata kunci. Selain differnce, dalam penelitian dekonstruksi ada hal-hal lain yang patut diperhatikan yaitu titik-titik aporia. Titik aporia adalah unit-unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna atau suatu figur yang menimbulkan kesulitan penjabaran. Titik aporia ini akan menimbulkan alusi, yaitu ditemukan sebuah unit teks-teks lain, atau peristiwa-peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Caranya dengan mensejajarkan atau mempertentangkan dengan unit wacana yang dihadapi. Hasil akhir akan ditemukan dua hal, yaitu retrospektif dan prospektif. Retrospektif adalah cara kerja dekontruksi yang diawali dengan pencarian unit wacana yang menimbulkan kebuntuan, selanjutnya unit wacana yang buntu itu dipertentangkan atau disejajarkan dengan unit wacana lain dalam teks yang sama. Sedangkan Propektis tidak terbatas pada unit wacana dalam teks yang dihadapi saja, tetapi perlu dilacak di luar teks.
Menurut Derrida (Culler, 1981:90) mendekonstruksi suatu opisisi adalah membalikan suatu hierarki. Akan tetapi, aktivitas itu baru tahap peratama. pada tahap berikutnya, pembalikan harus dilakukan terhadap sistem keseluruhan yang di dalamnya opisisi itu menjadi bagian-bagiannya. Hanya dengan syarat itulah dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus lapangan-lapangan oposisi yang dikritiknya yang juga merupakan lapangan kekuatan-kekuatan nondiskursif. Praktek dekonstruksi bekerja dalam batas-batas sistem tertentu tetapi dengan tujuan menghancurkan atau melakukan subversi.
Dalam kaitan itu, Derrida (Pradopo, 1991:90) mempergunakan istilah “suplement” (lampiran). Sejalan dengan Rousseou, tulisan sebanarnya hanya “lampiran” ujaran saja. Tulisan sekadar menambahkan sesuatu yang tidak hakiki. Namun, dekonstruksi memandang tulisaan lebih jauh dari sekadar “lampiran”, melainkan mengambil tempat ujaran. Kehadiran tulisan sebagai sistem tanda ada tiga titik catatan, yaitu:
(a) Tanda tertulisadalah sebuah tanda yang dapat diulangi tanpa kehadiran, bukan hanya ketakberadaan subjek yang mengucapkannya dalam konteks tertentu, tetapi juga kebaradaan seorang addressee (lawan bicara tertentu).
(b) Tanda tertulis dapat merusak “kontek yang nyata” dan dapat dibaca dalam konteks yang berada tanpa memandang apa yang dimaksudkan pengarangnya.
(c) Tanda tertulis tunduk kepada “pembuatan jarak”.
Relevansi dekonstruksi bagi penelitian sastra ada empat hal, yaitu:
(1) Terdapat keterkaitan dengan serangkaian konsepo kritik, termasuk konsep kesastraan itu sendiri. Relevansi ini terjalin karena ada hubungan sastra dan filsafat; filsafat dapat dipandang sebagai perkembangan dari sastra, filsafat adalah sastra yang digeneralisasikan.
(2) Sebagai sumber tema; sebagai contoh adalah tema kehadiran atau ketakhadiran., sentral atau marginal, tulisan atau tuturan.
(3) sebagai contoh strategi pembacaan, yaitu terletak pada keberanian peneliti sastra untuk sampai pada tipe-tipe struktur, membangun oposisi simetrik dan hirarkis, memperhatikan term-term yang mengandung argument bertentangan , membuat tertarik pada sesuatu yang menantang interpretative otoritatif, mencari gerak teks terdahulu yang akan ditolak oleh teks yang lahir kemudian, mempehatikan elemen-elemen yang dianggap marginal, yang dikeluarkan oleh teks itu sendiri maupun interpretasi mengenainya. (4) sebagai gudang cadangan saran-saran mengenai kodrat dan tujuan kritik sastra itu sendiri.
Pada dasarnya dekontruksi merupakan pengembangan dari post-strukturalisme.Junus menyebutkan bahwa deskontruksi sebagai pasca-strukturalisme yang eksterim. Sifat ekstrim yang dimaksud adalah pemaknaan karya sastra dapat dimulai dari aspek apa saja bahkan dari aspek yang sangat kecil yang semula tidak bamyak menarik perhatian orang. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa unsur yang semula kurang atau tidak bermakna, sekarang menjadi bermakna dan berfungsi.
Menurut Derrida unsur yang semula dianggap tak logis kadang justru akan muncul berulang-ulang unsur tersebut di satu sisi mungkin akan memiliki kekuatan pemaknaan, dan di sisi lain bisa jadi mengkaburkan makna. Unsur tersebut akan selalu muncul dalam teks yang disebut dissemination. Selain itu unsur ini diwujudkan dalam impuls lamvang-lambang puitis dan estetis. Bahkan Barthes menyebut lambang tersebut sebagai “jendela atau sinar” untuk melihat objek yang sesungguhnya yang dipikirkan pengarang.
Kehadiran dekontruksi telah memungkinkan sebuah teks memiliki multi-makna dan dipandang sangat kompleks. Itulah seabnya, prisip otonomi karya sastra yang memisahkan degan yang lain, ditolak oleh paham ini karena semakin jauh pemisahan diri teks sastra dengan unsur diakronis, hanya memperbesar difference. Bagi ilmu yang melatari penciptaan teks sastra tidak dapat disebur sebagai pengetahuan penulis, melainkan grammatology yang akan terwujud kedalam teks dekonstruksi. Hal ini syarat dengan pengolahan bentuk oleh pencipta sastra tersebut.
Jika akan diterapkan kedalam penelitian sastra, memang ada beberapa catatan. Pertama dekonstruksi bukan teori melainkan berkerja dan sekitar kerangkan diskursif yang sudah ada. Kedua, dekontruksi merupakan filsafat yang menyeluruh mengenai aktifitas interpretasi, bukan paham khusus mengenai sastra; meskipun didalam sastra memainkan peranan penting karena :
(1) Teori sastra bersifat koprehensif sehingga memungkinkannya melahirkan teori yang luar biasa,
(2) Teori sastra melakukan eksporasi ke batas-batas pemahaman sehingga mengundang dan memprovokasi diskusi-diskusi teoritik tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling general mengenai rasionalitas, refleksi diri dan signifikansi.
(3) Para teoritisasi sastra secara khusus reseptif terhadap perkembangan teoritik yang baru dalam lapangan-lapangan lain karena mereka kurang punya komitmen disipliner yang khusus seperti yang dimiliki para pekerja di bidang itu.
Paul de Man adalah seorang tokoh dekonstruksi amerika yag terpengaruh eropa. Beliau konsisten menekankan konsep retorika daripada tata bahasa maupun logika. Menurut beliau, tata bahasa adalah ilmu yang logis dapat dipolakan berdasarkan generalisasi.
De Man menolak adanya analisis retorika sederhana, tetapi lebih dari itu, yaitu perlu memperhatikan arti-arti kebalikannya. De Man tidak terperangkan pada kejelasan analisisnya, karena analisis itu juga tetap berlanjut pada dekosntruksi selanjutnya, dan seterusnya. Kerja De Man tidak dapat ditangkap sebagai sistem tunggal tetapi kepada konsistensi terhadap aspek ironinya.
Pendekatan De Man tersebut, berbeda dengan hermeneutik lainnya. De Man tidak bnerangkat dari tanda-tanda gramatikal dalam karya yang ditelitinya. De Man tidak memperhatikan aspek historisnya; ia melihat kekosongan (nihilisme) antara waktu penciptaan dengan waktu pembacaan, sedangkan Jauss memperhatikan aspek historis, terutama tanggapan pembaca dari masa ke masa. Catatan penting dari dekonstruksi adalah makna teks sastra sebenarnya bisa berubah-ubah. Makna sebuah teks bisa bermacam-macam dengan dan tidak memusat. Pemaknaan secara dekonstruksi boleh kearah futuristik atau avant garde.
E. Kelebihan dan Kelemahan Teori Dekosntruksi
Kelebihan pemikiran Derrida adalah upaya mencari pemikiran nilai alternatif di tengah-tengah nilai yang sudah ada. Hal ini akan mengacu dinamika, serta merangsang manusia untuk mencari nilai lain yang ”lebih baik”, ”lebih benar”, ”lebih mendalam”, serta bisa menjawab problem dasar kemanusiaan. Pengaruh Derrida bagi pemikiran filsafat utamanya bertujuan untuk menyadarkan dan sebagai juru bicara bagi mereka yang selama ini dipinggirkan, diasingkan, dan yang menginginkan pluralitas, kebenaran relatif, dan keunikan dalam mendapatkan tempat bernaung.
Kelemahan yang sering dikritikkan terhadap pemikiran Derrida adalah sifat paradoks, kontradiksi, inkonsistensi, ambivalensi, dilematik, dan tidak pasti. Pemikiran Derrida juga bersifat ambigu, artinya jika dia mengkritik suatu model pemikiran, maka dia akan terjebak menyusun model yang lain. Padahal model yang dikritik seperti inilah yang telah mendominasi pemikiran pihak lain. Namun, bila dia tidak menawarkan suatu model pemikiran, maka dia akan terjebak ke dalam suatu nihilisme atau kekosongan. Sehingga kritik yang sangat pedas terhadap pemikiran Derrida dan pemikir postmodernisme dan poststrukturalisme pada awalnya merupakan strategi dari dekonstruksi ini yang dimaksudkan untuk mencegah totalitarisme pada segala sistem, namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativitasme dan nihilisme.
F. Contoh Analisis
Analisis Dekonstruksi
Cerpen Ada yang Menangis Sepanjang Hari Karya Agus Noor
Cerita pendek ini menceritakan tentang suatu peristiwa yang aneh pada suatu wilayah. Peristiwa aneh tersebut adalah tangisan sepanjang hari. Tangisan yang seolah-olah mengisyaratkan kesedihan yang tak pernah berakhir. Namun, sayangnya kesedihan dalam tangisan tersebut seolah tak terasa oleh setiap ribadi di wilayah tersebut yang mendengarkan tangis. Hampir setiap hari tangisan tersebut dapat terdengar oleh warga. Namun, keseringan mendengar tangisan tersebut warga menjadi tidak terlalu peduli. Hal ini secara konkret terdapat dalam kutipan berikut
“Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para warga pun tak terlalu peduli.”
Cerita pendek ini memuat unsur aporia. Unsur tersebut dapat ditemukan melalui beberapa penggalan kisah dalam cerpen. Lazimnya suatu tangisan yang terdengar oleh orang lain dapat menimbulkan keprihatinan dan kesedihan bagi orang tersebut. Namun, cerpen ini menampilkan sisi yang berbeda dari biasanya, tangisan orang lain yang terdengar oleh yang lainnya tidak menimbulkan keprihatinan ataupun kesedihan, tetapi menimbulkan rasa jengkel, amarah, dan ketidakpedulian.
”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!”
”Apa dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini sudah keterlaluan!”
”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya.
”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.”
Adapun tangisan tersebut dianggap mengganggu ketenangan setiap orang yang mendengar. Tangisan tersebut dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran tata tertib di suatu wilayah. Yang menangis harus mendapat sanksi karena menimbulkan keresahan bagi warga di wilayah tersebut.
”Ini sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis, tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti begitu.” Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT.
”Kami harap Pak RT segera mencari siapa yang terus-menerus menangis begitu…”
”Lho, apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT.
”Kalau nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi terganggu.”
”Terus terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.”
”Jadi kebawa pingin nangis…”
”Itu namanya mengganggu ketertiban!”
”Pokoknya orang itu harus segera diamankan!”
Ketidakpedulian orang-orang yang mendengar tangisan tersebut dapat dipertanyakan. Mengapa mereka sungguh-sungguh tidak peduli? Orang-orang yang mendengar tangisan tersebut terlalu berkonsentrasi pada berbagai urusan pribadi, sehingga mata hati pun tertutup untuk dapat peka terhadap setiap kesulitan (tangisan) yang terdengar dari orang lain di sekitarnya. Aksi protes kepada pemimpin wilayah bukan menunjukan kepedulian kepada penderita, tetapi kepedulian lebih kepada diri sendiri, kenyamanan dan ketenteraman diri.
Dalam cerita tersebut seorang presiden merasa tersentuh oleh tangisan tersebut, tetapi tidak dapat melakukan apapun. Presiden tidak dapat menaruh kepeduliannya karena ia diliputi keangkuhannya untuk mempersiapkan diri berpidato, sementara suara tangisan tersebut dinilai sangat mengganggu. Sangat ironis, ketika seorang pemimpin lebih peduli pada pidato yang disusun asistennya untuk dikatakannya di hadapan umum, dibandingkan dengan kesulitan yang sedang melilit orang-orang disekitarnya (warga negara).
Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar.
Mendadak istrinya sudah di sampingnya.
”Ada apa?”
”Saya seperti mendengar suara tangis…”
”Siapa?”
”Entahlah…”
”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”
Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.
Berdasarkan analisis dekonstruksi pada cerpen tersebut, dapat dikatakan bahwa cerpen tersebut menggambarkan suatu keadaan yang memprihatinkan. Dalam hal ini, beberapa orang sudah tidak peduli dengan kesulitan orang lain. Bahkan, kesulitan yang ditangisi orang dinilai mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang-orang yang mendengarnya. Hal ini memperlihatkan keegoisan di atas segalanya. Apapun yang berkaitan dengan urusan pribadi dinomorsatukan, sementara segala hal yang berhubungan dengan orang lain dinomorduakan atau bahkan kepedulian terhadap orang lain tidak ada lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Listiyono dkk. 2007. Epistemologi Kiri. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekhnik Penelitian Sastra. Pustakan Pelayar: Yogyakarta.
Putu Fajar Arcana. 2011. Cerpen Pilihan Kompas 2010;Dodolit Dodolit Dodolitbret. PT Media Kompas Nusantara: Jakarta.
Endraswara, Suwardi. . Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.